Kamis, 06 Juni 2013

ketidak pastian kenaikan harga bbm

 Belum jelasnya kebijakan pemerintah terkait harga bahan bakar minyak bersubsidi menjadi perhatian serius lembaga pemeringkat global. Pekan lalu, lembaga pemeringkat Standard & Poor menurunkan outlook ekonomi Indonesia dari positif menjadi stabil lantaran pemerintah masih menunda kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pasar pun merespons negatif penurunan outlook tersebut dengan melakukan aksi jual saham hingga merosot lebih dari 2 persen hanya dalam dua hari perdagangan. Baru-baru ini, Moody's turut menyoroti ketidakpastian harga BBM dan mungkin saja menurunkan peringkat utang Indonesia. Mereka menilai tingginya subsidi BBM menyebabkan defisit neraca berjalan. Analis pasar modal dari PT Millenium Danatama Sekuritas, Probo Sujono, mengatakan spekulasi yang beredar bahwa Moody's akan memotong peringkat utang Indonesia cukup merisaukan pelaku pasar. "Penurunan peringkat kredit oleh lembaga internasional akan berpengaruh pada tekanan jual, terutama investor asing." Kebijakan pemerintah yang tak kunjung melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi bisa menimbulkan efek negatif dalam jangka panjang. Sebab, pelaku pasar akan kehilangan pegangan untuk mengatur portofolionya.
Meski demikian, Probo optimistis faktor fundamental berupa positifnya laporan kinerja emiten lebih menentukan pergerakan saham. Kalaupun itu terjadi (Moody's menurunkan peringkat utang), paling hanya koreksi temporer. "Melihat kinerja kuartal pertama, kami yakin IHSG masih bisa tembus ke level 5.300 hingga akhir tahun."
Analis dari PT Monex Investindo Futures, Yohanes Ginting, mengatakan, pelaku pasar masih menunggu keputusan pemerintah mengenai penyesuaian harga BBM. Faktor internal (BBM) menjadi salah satu penghambat apresiasi rupiah di pasar uang. "Sejak isu BBM bergulir, rupiah justru semakin melemah terhadap dolar Amerika."
Defisitnya neraca perdagangan Indonesia sejak tahun 2012 telah membuat mata uang rupiah paling lemah di antara mata uang Asia lainnya. Hal itu salah satunya disebabkan tingginya impor BBM dari luar negeri. Apalagi pemerintah kini meminta kajian kenaikan BBM berdasarkan persetujuan DPR sehingga semakin memakan waktu. Diperkirakan baru bulan Juni atau Juli, dan mendekati hari raya Idul Fitri yang sudah pasti mendorong inflasi. Senada dengan itu, pengamat pasar finansial dari PT Harvest International Futures, Ibrahim, meminta pemerintah untuk segera memastikan harga BBM yang baru agar nilai tukar rupiah lebih stabil. Semakin tinggi beban impor subsidi BBM yang ditanggung, semakin tinggi kurs dolar terhadap mata uang rupiah. "Tanpa ada intervensi Bank Indonesia, tekanan impor BBM bisa mendorong rupiah kembali ke level 10.000 di akhir tahun." PDAT | M. AZHAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar